TEMPO.CO, Jakarta - Semakin nyatalah keberadaan
ujian nasional kian tak mendapat tempat di hati rakyat Indonesia sebagai
barometer kelulusan siswa. Bagaimana tidak, pelaksanaan ujian nasional (UN)
yang kesebelas kali nyata-nyata mempertontonkan kegagalan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan menjadi pelaksana UN.
Lengkaplah
sudah, di tengah pesimisme rakyat Indonesia atas keberadaan UN, sekarang
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) malah bikin ulah dengan
pelaksanaan UN 2013 yang centang-perenang. Masih legalkah mempertahankan UN
sebagai instrumentasi kelulusan siswa tahun ini?
Sejak
pertama kali ujian akhir nasional (UAN) pada 2002 untuk tingkat SLTP dan SLTA
yang kemudian pada 2005 berganti nama menjadi UN, banyak elemen masyarakat yang
kerap menggoyang keberadaannya. Ada yang berpandangan UN menyamaratakan soal
ujian di seantero Nusantara. Kota besar, seperti Jakarta, yang sekolahnya jauh
lebih berkualitas, disetarakan dengan kota kecil, seperti di Papua, yang
fasilitas sekolahnya masih morat-marit. Ini tidak adil.
Keberadaan
UN sebagai barometer kelulusan siswa pun dirasakan telah mencoreng keadilan.
Kerja keras siswa, guru, dan orang tua selama bertahun-tahun seolah hangus
karena tingkat kelulusan siswa ditentukan oleh negara. Lalu, apa gunanya
interaksi guru dan siswa selama bertahun-tahun? Banyak siswa yang
berprestasi di mata guru justru tidak lulus UN, sehingga banyak siswa yang
berpotensi tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Sebenarnya
berbagai aksi miring pelaksanaan UN tersebut tidak sekadar dianggap angin lalu
oleh masyarakat. Masyarakat pun sudah tak percaya akan keberadaan UN. Pada
2009, beberapa elemen masyarakat beserta kuasa hukum mengajukan gugatan perdata
berupa citizen lawsuit terkait dengan UN ke Mahkamah Agung (MA).
Perjuangan
mereka sukses. MA mengabulkan gugatan dan memerintahkan agar UN dihentikan
sampai pemerintah memperbaiki pelaksanaannya di lapangan. Seharusnya,
berdasarkan penegakan hukum, UN sudah tak boleh lagi dilaksanakan sampai
mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pemerintah boleh kembali
melaksanakan UN.
Namun,
faktanya, putusan MA tersebut malah diabaikan pemerintah. Anjing menggonggong,
kafilah berlalu. Kemdikbud bertekad melakukan perlawanan hukum atas putusan
tersebut. Bahkan Mendikbud Mohammad Nuh optimistis pemerintah mampu meyakinkan
hakim, karena dasar-dasar pelaksanaan UN sudah sangat jelas. Sebenarnya, apa
pun alasan M. Nuh, UN setelah putusan MA tersebut tidak boleh lagi dilaksanakan
sampai ada kekuatan hukum yang mampu membatalkan putusan MA.
Kekukuhan
Mohammad Nuh melaksanakan ujian nasional setelah putusan MA tersebut merupakan
bentuk arogansi pemerintah terhadap rakyat. Sudah jelas rakyat menolak
keberadaan UN, namun pemerintah tak peduli. Apakah keberadaan rakyat sudah
dianggap angin lalu di mata pemerintah, sehingga tetap memaksakan kehendak yang
berselubung tirani?
Kegagalan
pelaksanaan UN 2013 bukan sekadar kesalahan teknis perusahaan percetakan yang
gagal mencetak dan menyuplai soal ke seluruh penjuru Indonesia seperti yang
diungkapkan Mendikbud. Kegagalan UN 2013 adalah cermin pembangkangan pemerintah
terhadap kehendak rakyat Indonesia agar UN ditiadakan. Ini berarti pertanggung jawaban
pemerintah bukan sekadar mengucapkan kata maaf kepada elemen bangsa ini. Kata
maaf saja tak cukup mengobati hati rakyat yang terluka akibat pembangkangan
pemerintah terhadap aspirasi rakyat.
Selain itu,
pelaksanaan UN tahun ini pertanda pemerintah ingkar janji terhadap tuntutan MA
agar pelaksanaan UN disempurnakan. Bukannya semakin baik, justru kisruh di
mana-mana. Dalam sejarah pendidikan nasional, belum pernah terjadi pelaksanaan
ujian apa pun yang sekisruh pelaksanaan UN 2013. Bayangkan saja, soal ujian
yang tergolong dokumen negara yang bersifat sangat rahasia dibongkar,
digandakan, dan disebarkan tak sesuai dengan batas waktu kerahasiaan yang
melekat pada dokumen tersebut. Lalu, di mana sifat kerahasiaan dokumen?
Penulis
benar-benar kaget ketika malam hari sebelum waktu pelaksanaan ujian harus
mengawasi semalam suntuk penggandaan soal UN untuk sebuah sekolah kejuruan di
Kota Sibolga. Rupanya, soal yang akan diujikan selama UN masih banyak yang
kurang, sehingga panitia pelaksana ujian yang diserahi tugas sebagai
koordinator UN di kota tersebut membongkar soal yang disimpan di Kantor Pos
untuk digandakan di suatu tempat yang sama sekali jauh dari kerahasiaan. Siapa
yang bisa menjamin soal tersebut tidak bocor, sedangkan dalam kondisi yang jauh
lebih aman pun soal UN kerap bocor.
Parahnya,
sampai empat hari dari pelaksanaan UN, ternyata masih banyak daerah yang belum
melaksanakan UN karena soal ujian belum merata sampai ke seluruh sekolah di
Indonesia. Yang menjadi pertanyaan kemudian, ”Kok, tidak digandakan saja soal
itu seperti di Kota Sibolga?” Siapa yang bisa menjamin mereka yang belum ujian
tak memegang soal yang telah digunakan sekolah lain yang sudah ujian.
Dengan
kondisi ada sekolah yang sudah ujian dan ada yang belum ujian, apakah
masih pantas lagi dikategorikan sebagai UN? Legalitasnya sudah tak ada, dan tak
pantas digunakan sebagai barometer kelulusan dan kecakapan siswa. Jelas,
sungguh sangat tidak adil menyamakan hasil siswa yang ujian tepat waktu dengan
siswa yang ujiannya belakangan, apalagi kalau sampai mendapat bocoran soal.
Karena
menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sungguh tak pantas pula Mendikbud
sekadar mengucapkan kata maaf kepada rakyat negeri ini atas kegagalannya
melaksanakan UN 2013. Apalagi, beliau secara terang-benderang melanggar putusan
MA yang melarang pelaksanaan UN. Tanpa menunggu putusan presiden mencopotnya
pun, sesungguhnya M. Nuh telah ilegal sebagai Mendikbud, sebagaimana hasil UN
2013 yang legalitasnya layak dipertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar