Kalender Hijriah


Senin, 27 Mei 2013

Kontroversi dalam Ujian Nasional, Sikap Dilematis Pemerintah dalam Memahami Kualitas Pendidikan Nasional



Pemerintah tetap berkeras hati untuk melaksanakan Ujian Nasional, meski penolakan Ujian Nasional telah dikumandangkan oleh berbagai pihak. Ujian Nasional adalah isu pendidikan yang sangat kontroversial di negara kita. Pro kontra tentang Ujian Nasional pun sudah terlalu sering menjadi bahan diskusi dan seminar Pendidikan, kenyataannya pemerintah tetap tak bergeming, malah terkesan tak mau akomodatif terhadap aspirasi yang berkembang dengan menaikkan standar kelulusan setiap tahun.
Dana APBN dan dana lainnya yang dikeluarkan untuk UN pada tahun 2009 Rp. 572 Milyar, tahun 2010 Rp. 590 Milyar, tahun 2011 Rp. 600 Milyar dan tahun 2012 Rp. 600 milyar. Belum lagi dana-dana lainnya setelah berkas UN sampai didaerah-daerah. Pasar gelap jawaban soal UN juga sangat riuh sehingga mendatangkan pendapatan haram bagi para oknum dari kalangan pendidikan juga.
Argumen yang paling mendasar bagi pemerintah dalam mempertahankan Pelaksanaan Ujian Nasional adalah sebagai bangsa kita butuh evaluasi yang memiliki standar agar dapat mengukur kualitas pendidikan kita, hal ini justru mengisyaratkan ketidakpahaman pemerintah terhadp substansi evaluasi dalam pendidikan. Evaluasi secara substantive bertujuan untuk meningkatkan kualitas. Artinya, dalam hal ini harus ada tindakan lanjutan (Follow Up) setelah nilai dari hasil Evaluasi didapatkan, namun yang terjadi pada saat ini tidaklah demikian, Ujian Nasional sangat mutlak dan Pemerintah seakan tidak peduli dengan siswa yang gagal dalam ujian tersebut, pendekatan lanjutan juga tidak spesifik dan menyentuh langsung pada kebutuhan siswa. Malah yang dimaksud dengan peningkatan mutu yang dipahami oleh pemerintah dengan cara meningkatkan standar kelulusan dari tahun ke tahun, dan memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional. hal ini diasumsikan pada bahwa dengan dinaikkannya Standar kelulusan maka kualitas dari pendidikan itu sendiri semakin meningkat, sehingga dapat diartikan secara tidak langsung bahwa kualitas pendidikan menurut Pemerintah adalah sekedar menjawab soal ujian dengan benar tanpa disertai dengan peningkatan yang lainnya.
Selain itu juga, pemerintah berkilah dengan melakukan program sertifikasi guru adalah salah satu upaya untuk peningkatan mutu sehingga tidak ada demokrasi bagi guru untuk mempertanggungjawabkan kegagalan siswanya dalam Ujian Nasional. jika siswa gagal maka gurulah yang bertanggungjawab, sehingga kegagalan dalam Ujian nasional ini seringakali dilemparkan kepada Guru. Pemerintah seakan lupa bahwa program sertifikasi guru sampai saat ini belum dievaluasi secara holistik. Lebih memprihatinkan lagi, ada beberapa daerah di Indonesia program sertifikasi ini dijadikan sebagai alasan untuk pemangkasan tunjangan kinerja, sehingga guru dijadikan sebagai permainan politik anggaran.
Setiap kebijakan yang diputuskan tentu tidaklepas dari dampak atau akibat dari pelaksanaan kebijakan tersebut, baik berdampak positif maupun berdampak negatif. Begitu juga dengan Ujian Nasional, setiap penyelenggaraannya tak lepas dari berbagai kasus yang bermunculan disana-sini, diantaranya adalah terjadinya pembocoran soal yang dilakukan oleh berbagai oknum, termasuk oknum sekolah. Demi meluluskan peserta didik, beberapa sekolah sempat melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian Nasional tersebut. Jadilah Ujian yang semula menciptakan pendidikan Indonesia yang berkualitas, berubah menjadi ajang pembelajaran kecurangan. Para siswa tahu gurunya sedang melakukan kecurangan, dan mereka sadar bahwa kelulusan yang mereka dapatkan bukan merupakan hasil dari usaha mereka. Tapi mereka tidak ambil pusing, karena sudah belajar dan terbiasa hidup dalam kecurangan, kalau ini berlanjut, bukan tak mungkin moralitas generasi penerus bangsa akan berubah menjadi generasi pengecut dan penipu.
Selanjutnya ada satu fenomena yang terjadi didalam ujian nasional, ujian yang seharusnya disikapi dengan proporsional ternyata disikapi dengan berlebihan oleh sebagian lembaga pendidikan. Seakan Ujian nasional merupakan bencana alam dahsyat sehingga harus meminta pertolongan dari Tuhan dengan melakukan Istighasah secara besar-besaran semalam suntuk, entah karena putus asa, atau hanya sekedar tradisi menyambut ujian Nasional sehingga Tuhan pun dilibatkan dalam Ujian nasional tersebut secara berlebihan.
Faktor kecurangan pada Ujian Nasional dapat dipahami dalam dua sisi:
Pada sisi pertama, Indikator pembangkangan dan pemberontakan para guru dan sekolah terhadap kebijakan Ujian Nasional. setiap tahun pengawasan terhadap Ujian Nasional ini ditingkatkan, namun pada faktanya, tetap saja kecurangan semakin banyak terjadi. Bukankah ini pertanda bahwa guru dan sekolah sedang berontak? Sebab jika benar guru dan sekolah rela dengan sistem evaluasi model Ujian Nasional, maka pemerintah tidak perlu susah payah membiayai pengawasan Ujian Nasional secara massive dengan melibatkan banyak pihak, nyatanya pada saat evaluasi Reguler guru dapat mengawasi ujian dengan baik, tanpa polisi, LSM, Wartawan, pengawas silang, pihak universitas, dll seperti yang terjadi selama Ujian Nasional, lantas kenapa pada saat Ujian Nasional dengan pengawasan yang berlapis justru kecurangan terjadi? Bagi yang berfikir logis tentu akan berpendapat bahwa guru dan sekolah sedang berontak.
Disisi lain juga dipertanyakan, apakah benar Ujian Nasional yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dilaksanakan secara jujur? Hal ini merupakan pertannyaan yang menggelitik karena selama ini kecurangan tentang pelaksanaan ujian nasional bukan menjadi sesuatu yang sangat tabu, bahkan tersebar diseluruh kalangan masyarakat. Kecurangan dalam ujian Nasional ini merupakan titik klimaks dari Lingkaran Setan dalam sistem perpolitikan pendidikan yang terjadi di Indonesia. Coba bayangkan, jika angka kelulusan 95% dalam ujian nasional tidak tercapai diseluruh Indonesia, Apakah Menteri Pendidikan Nasional tidak malu dan terancam dicopot, bagaimana dengan nasib para Gubernur, Kepala Dinas Pendikan, Para Bupati, Kepala Sekolah dan seluruh pihak yang terlibat dalam hal ini tidak malu dan juga terancam dicopot dari jabatannya?, oleh karena itu konflik kepentingan dan lingkaran yang seperti ini lah yang membuat kecurangan didalam ujian nasional sangat rentan terjadi, hal ini diperburuk dengan barometer Utama dalam keberhasilan Pendidikan Nasional ini bergantung dari seberapa tidaknya pencapaian hasil dalam Ujian nasional. sehingga hal ini bukannlah menjadi kepentingan asiswa yang bersangkutan akan tetapi menjadi berbagai macam kepentingan yang ada disebalik pelaksanaan Ujian Nasional ini.
Fenomena dan kejadian seperti ini semakin memperjelas bahwa Pemerintah pada dasarnya masih dilematis dan kebingungan dalam memahami substansi dari evaluasi pendidikan ini. Disatu sisi pemerintah menginginkan peningkatan mutu yang terukur dan menjadi barometer yang pas dalm standar pendidikan, namun disisi lain pemerintah bisa menemukan cara yang efektif dalam mencapai Format Ujian Nasional yang tepat.
Ada beberapa alasan yang memberatkan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional tersebut, diantaranya :
  1. Inkonsistensi dan Arogansi Eksekutif; sikap Mendiknas untuk tetap bersikeras melakukan Ujian Nasional ini diterjemahkan sebagai suatu sikap arogansi eksekutif, karena sebelumnya UAN telah disepakati bersama komisi X DPR serta para pakar praktisi pendidikan untuk dicabut dan dihapuskan, namun Mendiknas kembali menggelar UN sebagai pengganti UAN yang sistem penyelenggaraannya hampir sama.
  2. Menyalahi konsep Otonomi Pendidikan; UAN Dan UN yang dilaksanakan pemerintah melalui Mendiknas, disinyalir berseberangan dengan konsep otonomi pendidikan, karena keterlibatan dan campur tangan pemerintah pusat yang begitu dominan. Padahal sistem penyelenggaraan UAN maupun UN itu cenderung sentralistik, dan tidak mengakomodir pluralitas di masing-masing daerah. Seharusnya yang meluluskan peserta didik dalam jenjang pendidikan tertentu merupakan otoritas masing-masing lembaga pendidikan, bukan pemerintah yang merancang desain Ujian Akhir serta mematoknilai standar minimum kelulusan. Karena pemerintah pusat jelas tidak memahami seluk beluk pendidikan didaerah-daerah, apalagi jika hendak meluluskan para peserta didik dengan standarisasi dan nilai ujian.
  3. Mengabaikan nilai-nilai Khas Kultural; masing-masing daerah di Indonesia memiliki kultur yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dan ketika sistem ujian nasional digunakan sebagai standar nasional yang sentralistik, maka nilai-nilai khas kultural yang dimiliki masing-masing daerah cenderung diabaikan.
  4. Rentan terhadap Intervensi/Kepentingan Pemerintah; ini merupakan persoalan yang paling rawan dikhawatirkan oleh banyak kalangan, penyelenggaraan UN dianggap sebagai bentuk intervensi pusat kepada daerah-daerah secara berlebihan
Lulus tidaknya seorang peserta didik ditentukan oleh pendidik dan lembaga pendidikan tempat peserta didik itu belajar. Negara tidak berwenang dalam hal ini. Negara hanya mengatur lembaga pendidikan, tenaga pendidik dan kriteria yang digunakan untuk menentukan kelulusan peserta didik, dan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional telah mengatur seperti itu.
Tidak ada satu pasal pun dalam UU No. 20 tahun 2003 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah atau pemerintah Daerah untuk menentukan kelulusan peserta didik.
Digunakannya Ujian Nasional sebagai jalan satu-satunya untuk menentukan kelulusan peserta didik tidak menyelesaikan masalah pendidikan, tetapi justru menimbulkan masalah baru. Dalam hal ini pemerintah membuat peraturan, memberikan izin pendirian satuan pendidikan, pemerintah melaksanakan akreditasi dan pemerintah juga yang mengambil kewenangan guru dan sekolah yang telah diakreditasi, mutu pendidikan tidak akan pernah meningkat dalam negara yang pemerintahannya tidak mempercayai guru dan sekolah yang telah diakuinya sendiri.
Seharusnya jika pemerintah berniat melakukan evaluasi terhadap mutu pendidikan, evaluasi haruslah dilakukan sebagai salah satu proses dalam perbaikan mutu. Tujuan terakhir dari evaluasi bukan dilihat dari hasil lulus dan tidak lulus akan tetapi lebih berorientasi pada memahami kelemahan sistematik dalam pendidikan secara holistik kemudian menemukan solusinya. Hasil tersebut kemudian menjadi bahan utama perumusan kebijakan strategis untuk peningkatan pendidikan, sehingga evaluasi tidak dilakukan hanya untuk mempertahankan ritual tahunan dengan anggaran yang bombastis tanpa tujuan yang jelas.
Kita memang memerlukan evaluasi sebagai alat ukur dalam kualitas pendidikan di Indonesia, akan tetapi jika menggunakan Ujian Nasional sebagai alat penentu kelulusan bukanlah suatu alasan untuk mengukur kualitas secara keseluruhan dan mapping kualitas secara regional sebagai bahan evaluasi akademik. Kosekuensinya adalh perbaikan penyelenggaraan pendidikan dan tidak menghakimi anak didik apalagi guru yang sudah bersusah payah mendidik mereka selama bertahun-tahun. Setelah kurun waktu yang ditentukan seharusnya anak didik harus direlakan untuk menamatkan pendidikannya tanpa harus dibelenggu oleh ujian Nasional. namun, kelulusan mereka lebih ditentukan pada bagaimana cara amereka mengaplikasikan pendidikan yang mereka dapatkan sehingga mereka juga mempunyai kesempatan dalam menentukan masa depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar